Kontroversial selalu mengiringi fenomena “Kerauhan”. Terlebih sekarang, Kerauhan seolah-olah menjadi tren kekinian, dan begitu mudah seseorang mengalami Kerauhan. Sedikit-sedikit Kerauhan. Hutang banyak Kerauhan, perusahan bangkrut Kerauhan, ditinggal pacar Kerauhan, miskin kerauhan, bahkan yang menarik orang kaya pun Kerauhan.
Lebih menariknya lagi, ada oknum hobinya Kerauhan. Maaf, bukan berarti merendahkan mereka yang Kerauhan, tetapi saking gampangnya orang Kerauhan sehingga perlu memaknai Kerauhan itu. Memaknainya bukan berarti menggiring opini, bahwa fenomena Kerauhan sebagai “penyakit sosial”, tetapi lebih kepada menemukan makna yang tepat berkenaan dengan Kerauhan.
Secara literal, “Kerauhan” berasal dari kata “Rauh” yang diartikan sebagai datang, hadir, dan sejenisnya. Jadi, Kerauhan merujuk pada sebuah hal yang berhubungan dengan proses mendatangkan sesuatu atau menghadirkan suatu kekuatan. Kerauhan dapat pula diartikan sebagai “ruh” (kerauhan=ruh) yang boleh diartikan “spirit“.
Sederhananya, Kerauhan adalah sebuah prosesi penghadiran kekuatan spirit (Niskala). Dalam tradisi keberagamaan Hindu di Bali, penghadiran kekutan tersebut tentunya melalui ritual sakral. Oleh karenanya, Kerauhan selalu berhubungan dengan ritual penghadiran yang sakral.
Ritual penghadiran ini ada pada zona gaib (tenget), sehingga masyarakat Hindu Bali meyakini kekuatan Niskala itu sangat gaib (tenget) dan abstrak (tidak berwujud). Penghadiran kekuatan tersebut adalah sebuah proses penyekalaan dari yang Niskala.
Tujuannya jelas untuk membuktikan kapada kita, kekuatan Niskala benar-benar ada dan berperan penting dalam kehidupan. Bahkan Frezer dan R. Oto (tokoh antropologi Barat) mengemukakan teori bahwa manusia terpesona oleh kekuatan gaib, sehingga kegaiban sering menjadi solusi bagi manusia ketika hal-hal yang rasional menemui kebuntuan.
Karena Kerauhan berhubungan dengan kegaiban (tenget), tidak sembarangan orang yang dapat mengalami kondisi Kerauhan. Mereka yang mengalami Kerauhan adalah orang yang sudah melewati proses penyucian diri, baik badan fisik dan mental. Sudah hukum kesemestaan, bahwa yang gaib hanya dapat terhubung dengan kegaiban. Sederhana kita untuk memahami, bahwa yang suci hanya dapat tersentuh oleh kesucian.
Kerauhan sebagai penghadiran yang gaib tidak saja berhubungan dengan kekuatan Dewa-Dewi. Ini mesti diketahui bersama. Sebab kekuatan gaib adalah energi yang bisa muncul dari lapisan-lapisan energi kosmos, baik lapisan kasar hingga halus. Dengan demikian, Kerauhan tidak saja penghadiran kekuatan Dewani (lapisan energi halus) tetapi bisa saja penghadiran kekuatan Bhutani (lapisan energi kasar).
Hal tersebut dapat dikenali dari reaksi orang yang mengalami Kerauhan. Jika ada orang Kerauhan menunjukan sikap lembut, halus dan semacamnya, sudah dipastikan ia mengalami Kerauhan Dewa. Jika sebaliknya menunjukan sikap kasar, reaktif dan semacamya, sudah pasti Kerauhan Bhuta.
Yang penting juga dari Kerauhan adalah kebenaran orang yang mengalami Kerauhan. Sebab banyak orang mengalami baru “merasa” Kerauhan. Jika baru merasa, hal tersebut berhubungan dengan kondisi mental kognisi. Bisa saja kerena tersugesti suasana, dan terlarutkan akan fenomena melalui Panca Indria, dan sangat memungkinkan adanya gangguan mental.
Hal inilah yang banyak terjadi dalam setiap ritual. Untuk membuktikan kebenarannya, diperbolehkan “Mintonin” atau menguji kebenarannya, dan pastinya jangan sampai mengkesampingkan sisi humanisme. Seseorang yang mengalami benar-benar Kerauhan, ia mampu menunjukkan Taksu tertentu, sehingga sering disebut “Ketakson”, yakni Taksu (Power) tertentu yang hadir melalui media tubuh.
Justru yang Kerauhan sesungguhnya ia tidak kehilangan kesadarannya, tetapi ia sadar bahwa ada energi Niskala yang aktif dan sepenuhnya menjadi kendali atas dirinya. Kondisi Kerauhan yang demikian disebut dengan “Nadi”, yakni Kerauhan yang sadar bahwa dirinya sebagai peranti (media) kekuatan Niskala untuk menyampaikan pesan kepada kita di alam Sekala.
Ketika ada hama (merana) dan wabah misalnya, maka Sanghyang Jaran, Sanghyang Deling, Sanghyang Dedari dst ditarikan melalui ritual khusus, dan kekuatan Niskala sengaja dihadirkan sehingga Kerauhan. Ritual sakral Pengrebongan misalnya, sudah jelas tujuannya untuk meneutral Merana dan wabah penyakit. Jadi, Kerauhan akan selalu hadir dalam ruang-ruang sakral. Pertanyaannya, lantas bagaimana jika orang yang mengalami Kerauhan tidak melalui prosesi ritual sakral?
Lebih tepatnya orang yang demikian disebut dengan Kerangsukan atau Kesurupan. Sekilas nampak sama, tetapi dalam konteks beragama Hindu di Bali hal tersebut sangatlah berbeda. Kerangsukan dan Kesurupan lebih disebabkan terganggunya kondisi mental seseorang.
Bisa saja disebabkan karena banyak faktor, dan faktor yang paling dominan adalah tekanan hidup yang dialami seseorang yang berdampak pada terganggunya kondisi kejiwaan. Terganggunya kejiwaan, berarti terganggunya keseimbangan tubuh fisik dan mental, sehingga orang yang demikian sering mengalami delusi yang ia ciptakan sendiri.
Sangat memungkinkan orang yang terganggu kondisi mentalnya mudah terbawa dalam suasana tegang dan berpuncak pada kondisi hysteria yang memicu terjadinya Kerangsukan dan Kesurupan. Tidak jarang pula, orang yang mengalami kondisi demikian memiliki power yang lebih daripada orang normal. Hal tersebut disebabkan lontaran atau pelepasan dari ketegangan kondisi mental yang terlepas secara paksa, seperti balon udara yang ikatannya terlepas. Dan, belum tentu orang yang demikian disebut Kerauhan.
Kembali kepada Kerauhan adalah istilah yang sakral dan berhubungan dengan hal-hal yang gaib melalui prosesi yang keramat. Dalam konteks Tattwa, Kerauhan sebagai simbol akan adanya kekuatan Tuhan dalam diri sebagai Sangatmika Tattwa yang tidak berbeda dengan Paramasiwattwa sebagai Maha Gaib (Bhuwana Kosa).
Melalui Kerauhan sebenarnya kita dapat mengakses kekuatan Maha Gaib itu dan terhubung dengan Sangatmika dalam diri. Bahkan Kerauhan sesungguhnya adalah ketika kita lebur dalam nikmat Boga Paramasunya, di mana sudah tidak ada lagi identitas diri. Semua Viphala akan terlampaui, dan di sana dimensi transendensi dimasuki dalam kemanunggalannya yang mutlak.
Oleh : I Ketut Sandika
Dishare oleh Nusa Penida Destinations Facebook